Sabtu, 10 Desember 2011

PerCALOAN dan OUTSOURCHING

Mungkin sudah gak asing lagi kata-kata ini ditelinga kita, bahkan mungkin sebagian dari kita juga pernah mengalaminya langsung. Kalo dulu calo hanya seputaran orang jual tiket ato yang semacamny, tapi sekarang sudah menjamur dihampir semua aspek, mungkin agak berlebihan saya berkata demikian, tapi itulah yang dapat saya amati. Setidaknya pernah saya alami sendiri dalam beberapa hal, ato mungkin dalam banyak hal.

Coba kita lihat sekarang, mulai dari penerimaan pns ada calonya, tiket kereta ato bus ada calonya, pajak pun juga dicaloin, mau bikin sim ada calonya, mau perpanjangan stnk jg ada calonya, orang jual tanah ato mobil ada calonya, orang mau cari istri ada calonya, dan bahkan orang nyari kerja pun dicaloin sebagaimana yang sering kita dengar dengan sebutan outsourching. Padal itu cuma nama kerennya ajah, kenyataanya mereka itu lebih parah daripada calo itu sendiri. Kenapa disini saya katakan lebih parah daripada calo itu sendri?yupz, kalo calo ato makelar mungkin sebagian dari mereka mengambil untung dari jasa yang mereka berikan, katakanlah makelar ato calo mobil, mereka minta imbalan persen dari transaksi jual beli mereka, bisa jadi juga mereka minta dari kedua belah pihak, sesudah itu habis perkara, selesai urusan. 

Tapi coba kita bandingkan dengan outsourching, mereka sebagai pihak penyedia jasa tenaga kerja sudah sewajarnya mendapatkan hak imbalan karna sudah menyalurkan tenaga kerja yang ada. Anggaplah security, ato mungkin petugas kebersihan, ya benar merekalah yang paling banyak mengambil bagian dalam bisnis outsourching ini. Bolehlah mereka sebagai pihak yang telah berbaik hati memberikan pekerjaan, wajar kalo ia merasa pantas mendapatkan imbalan. Tapi apakah wajar bila mereka mengambil hak itu secara terus menerus/kontinyuitas dengan jumlah yang banyak ato tanpa kita sadari mereka telah mengambil hak para tenaga kerja ato buruh ato pekerja. Kita tidak pernah tau perjanjian antara pihak penyedia jasa/outsourching dengan pihak pengguna jasa ato perusahaan yang menggunakan jasa. Tapi seandainya kita sendiri mengetahuinya, tak kan mau kita ikut outsourching ( padal saya sendiri ikod outsourching loh ).


Sebagian besar yang masuk outsourching berdalih, "kalo gak terpaksa, gak bakal saya masuk outsourching" (termasuk didalamnya saya yang menggunakan alasan tersebut). Mungkin kita akan tercengang kalo kita melihat perjanjian antara penyedia jasa dan pengguna jasa. Salah satu perusahaan otsor pernah menyatakan demikian, "kami memberikan semua hak anda yang diberikan oleh perusahaan pengguna jasa, kami tidak mengambil sepeser pun, perusahaan pengguna jasa yg akan memberikan fee sendiri kepada kami". Mereka memang menyatakan demikian, tapi sekali lagi kita tak pernah tau perjanjiaannya karna memang kita tak pernah boleh tau. Sebagian dari kita mungkin nerima-nerima aja karna mungkin kita emang butuh kerjaan, digaji berapa pun tak masalah. Kalo menurut saya itu karna mereka tak pernah tau dan gak mau tau "perjanjian" itu, coba kalo mereka tau ya lain perkara.


Terkadang banyak diantara mereka yang bekerja Nothing to lose, yang penting mereka kerja, cukup untuk hidup sebulan ya sudah. Pernah mungkin kita bertanya, berapa persen perusahaan otsor mengambil keuntungan dari kita??5% kah ato 10% kah ato mungkin bahkan lebih dari 50%??mereka berdalih, itu semua untuk menutup biaya pengiklanan mereka dan usaha mereka mencari pengguna jasa, juga atas jasa penyaluran. Secara hukum mereka pasti akan merujuk pada UU no 13 tahun 2003, yang dari dulu sudah ditentang para buruh karna UU tersebut dinilai sangat menguntungkan pihak perusahaan outsourching. Coba bayangkan, bila anda yang bekerja tapi orang lain yang menerima hasilnya, bahkan lebih banyak dari yang anda terima??sekali lagi karna kita tak pernah tau "perjanjian" diantara mereka. 


Jelas ini sangat menguntungkan kedua belah perusahaan yang telah mengikat "perjanjian", dengan begetu mereka tidak harus memenuhi hak-hak para pekerja, tak harus memberikan tunjangan, tak harus memberikan jaminan kesehatan, tanpa jaminan kesejahteraan,bisa memutus hubungan secara sepihak tanpa harus memberikan pesangon walopun pekerja itu sudah bekerja selama 2taon ( berdasarkan UU no 13 tahun 2003, bahwa sistem kerja seperti outsourching ini maksimal hanya 2taon, makanya sering terjadi peristiwa setelah 2taon pekerja akan diputus hubungan, kemudian dipanggil kembali dan diperkejakan lagi).


Kalo kita amati kelihatan kejam dan tak ada belaskasihan sama sekali, apalagi bila benar draft revisi UU no13 tahun 2003 itu disahkan, maka itu akan sangat menguntungkan perusahaan dan pengusaha bidang outsourching ini. Benar-benar amat disayangkan, bila pemerintah dan DPR meloloskan revisi tersebut. Jelas-jelas sangatlah merugikan para pekerja dan pencari kerja di Indonesia, walaupun mereka berdalih agar laju ekonomi terus berjalan dan dapat menarik investor asing ke Indonesia. Tapi mereka sama sekali tidak memikirkan dampak dan akibatnya bagi rakyat, ditengah himpitan perekonomian yang semakin susah, mereka pun akan melakukan semua pekerjaan dan mau dibayar berapa pun.


Dan sungguh ironis lagi ketika seseorang yang mencoba mengusung usahanya sendiri ternyata juga tidak lepas dari jerat perCALOan ato otsor ini. Terkadang tanpa kita sadari secara individu pun kita dapat dimanfaatkan oleh seseorang atas kebaikan kita dan keluguan kita. Kalo boleh saya memberikan contoh, sebut saja kita mempunyai skill tertentu, kemudian ada seseorang yang mengetahui tentang skill kita, akhirnya orang tersebut pun memanfaatkan keahlian kita dan menjualnya pada orang lain, bahkan mungkin ia berani mengambil lebih dari 50% dari hak kita yang sesungguhnya. Sungguh miris dan prihatin saya melihat keadaan yang seperti ini. Apalagi bila kejadian ini menimpa diri kita sendiri, alangkah sangat disayangkan hal-hal yang seperti itu harus terjadi. Dampaknya pun bisa berakibat fatal, keprofesionalan kita pun akan terganggu bahkan mungkin nama baek kita bisa rusak akibat hal yang semacam ini.


Mungkin hal-hal seperti ini bisa menjadi pelajaran buat kita semuanya, dan saya berharap sekali kepada pemerintah dan anggota dewan yang mempunyai kepentingan dan kewenangan akan hal ini agar menimbang baek-baek sebelum memutuskan dan mengesahkan UU. Sudah selayaknya bila UU itu lebih berpihak pada kepetingan masyarakat bukan kepentingan dan keuntungan bagi sebagian golongan saja. Baik pemerintah masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan bisa menilai secara proposional, sehingga tidak bertepuk sebelah tangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar